Putusan MK, Momentum KPK dan Polri Bisa Periksa Jaksa Bermasalah.

Nasional
muaraenimaktual.com

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Bung Karno (UBK) Hudi Yusuf menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi momentum bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri untuk memeriksa bisa jaksa yang diduga bermasalah.

Hal ini disampaikan Hudi merespons kasus dugaan penggelapan barang bukti robot trading senilai Rp500 juta oleh mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Barat Hendri Antoro serta polemik dugaan keterlibatan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah dalam kasus Zarof Ricar, yang hingga kini belum ditindaklanjuti oleh internal Kejaksaan Agung.

” Putusan MK merupakan momentum baik bagi KPK dan Polri untuk periksa mereka yang dianggap bermasalah dengan hukum di kejaksaan,” kata Hudi dilansir dari Inilah.com, Jumat (17/10/2025).

Mekanisme Izin Jaksa Agung Dihapus

Hudi menjelaskan, selama ini Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 (UU Kejaksaan) yang mengatur revisi itu, telah membuat jaksa bermasalah seolah kebal hukum.

Ketentuan sebelumnya mewajibkan aparat penegak hukum lain harus terlebih dahulu memperoleh izin dari Jaksa Agung apabila ingin melakukan upaya paksa terhadap jaksa yang diduga bermasalah.

” Izin dari Jaksa Agung merupakan hambatan terhadap penegakan hukum kepada JPU (Jaksa Penuntut Umum) yang bermasalah. Dengan dihapusnya hal di atas maka JPU akan merasa tidak ada ‘perlindungan hukum’ dari Jaksa Agung,” ucapnya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan).

Dengan putusan ini, aparat penegak hukum seperti KPK maupun Polri kini dapat melakukan upaya paksa tanpa perlu izin Jaksa Agung ketika seorang jaksa tertangkap tangan atau diduga kuat melakukan tindak pidana berat, termasuk korupsi.

Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Agus Setiawan (aktivis/mahasiswa), Sulaiman (advokat), dan Perhimpunan Pemuda Madani. Putusan Nomor 15/PUU-XXIII/2025 itu dibacakan dalam sidang pleno di Gedung I MK, Jakarta, Kamis (16/10/2025), yang dipimpin langsung oleh Ketua MK Suhartoyo.

Demi Prinsip Kesetaraan Hukum

Dalam amar putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan Pemohon I dan II. MK menilai Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai memuat pengecualian bagi jaksa yang tertangkap tangan atau diduga kuat melakukan tindak pidana berat.

Dengan koreksi tersebut, Pasal 8 ayat (5) kini berbunyi:

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung, kecuali dalam hal:

a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau

b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus.

MK juga menyatakan Pasal 35 ayat (1) huruf e beserta penjelasannya dalam UU 11/2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sementara permohonan Pemohon III serta sebagian permohonan Pemohon I dan II yang berkaitan dengan Pasal 11A ayat (1) huruf a dan e serta ayat (3) dinyatakan tidak dapat diterima.

Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan bahwa perlindungan hukum terhadap aparat penegak hukum memang diperlukan, namun tidak boleh meniadakan prinsip persamaan di hadapan hukum atau equality before the law.

“Norma tersebut tidak sejalan dengan semangat equality before the law dan berpotensi melemahkan prinsip negara hukum. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat norma ini harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat,” ujar Arsul, dalam persidangan.

Menurut Arsul, perlindungan terhadap jaksa hanya dapat diberikan dalam batas yang wajar untuk menjaga independensi mereka dalam menjalankan tugas. Namun, ketentuan yang mewajibkan izin Jaksa Agung dalam pemanggilan, pemeriksaan, atau penahanan berpotensi menimbulkan perlakuan istimewa yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan di hadapan hukum.

Karena itu, Mahkamah menilai pasal tersebut tidak sejalan dengan semangat perlindungan hukum yang adil bagi seluruh penegak hukum.

Mahkamah juga menegaskan telah mengubah pandangan dari Putusan Nomor 55/PUU-XI/2013 yang sebelumnya menyatakan ketentuan izin Jaksa Agung bersifat konstitusional. MK menyebut perubahan sikap ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan semangat penegakan hukum yang setara antara jaksa dan aparat penegak hukum lainnya.

Putusan ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua hakim konstitusi, Arief Hidayat dan M. Guntur Hamzah. Keduanya menilai seharusnya MK menolak permohonan para pemohon. Mereka berpendapat Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan tidak dimaksudkan sebagai bentuk imunitas, melainkan mekanisme perlindungan bagi jaksa dalam menjalankan tugasnya.

Menurut mereka, keterlibatan Jaksa Agung sebagai advocate general justru memperkuat prinsip check and balances jika dijalankan secara profesional, transparan, dan akuntabel. (Red)